Ketika Sajak Ini Lahir



Malam itu,
Aku berjalan tanpa keraguan.
Menikam dan melucuti jarum jam,
Lalu menusuknya dari belakang.

Jarum jam telah mati,
Waktu telah berhenti,
Hanya ada aku dan pisau dapur ditangan kanan,
Tuhan menjadi saksi perjuanganku.

Perjuangan menghentikan waktu,
Bergelut dengan harapan,
Diantara banyak kecemasan,
Menggema kesedihan yang menolak dibungkus.

Lalu Tuhan menyentil telingaku,
Bahwa aku sepenuhnya salah,
aku hanya nafsu semata,
Sampai aku tega membunuh waktu.

Seharusnya aku biarkan waktu berjalan,
Walau gontai sekalipun,
Perjalanannya menuju takdir,
Keabadian yang tidak seharusnya aku ciptakan sekarang.

Skenario Tuhan selalu yang terbaik,
Bukan skenario buatan manusia yang menjadi hal terbalik,
Ternyata Tuhan membisikan sesuatu,
Takdir itu menuju ke arahmu.

Seharusnya aku bisa menerka-nerka,
Kemana seharusnya aku merebahkan rasa lelah,
Dimana bahu yang bisa menjadi tempat bersandar,
Dimana aku bisa menceritakan segala keluh kesah.

Ternyata, kamulah tempatku untuk pulang,
Kamulah yang akan menyambut kedatanganku,
Kamulah yang menyiapkan teh hangat ketika aku sampai di rumah,
Kamulah yang bersedia menjadi ma’mum satu shaf di belakangku.

Tapi Tuhan tidak memberikan itu secara instan,
Tuhan menyuruhku untuk berdoa dan selalu bersyukur,
Berbuat baik terhadap semua orang,
Menjadi pribadi yang setiap detik dibumbui kebaikan.

Agar aku bisa memantaskan dan dipantaskan,
Agar aku bisa mempertahankan dan dipertahankan,
Agar aku bisa mendoakan dan didoakan,
Agar aku bisa membahagiakan dan dibahagiakan.

ketika sajak ini lahir,
aku sedang memikirkan kebodohan-kebodohanku,
masa lalu yang kerap menghantui isi kepala,
yang menolak untuk dilupakan dan dipejamkan.

Anfal Ria Reshadi,
Jakarta, 29 Januari 2017

Posting Komentar

Beri komentar pada kolom yang tertera. Dilarang menggunakan kata sapa "Gan" di blog ini. Dariku sang penggila kopi, pecandu puisi.