Tetiba aku merindukanmu, siang hari menuju petang,
senyummu masih membentang dalam ingatan. Perempuan yang parasnya selalu
menggantung dipikiran, membuatku lupa arah jalan pulang.
Entah perkenalan singkat malam itu, membentuk kisah
tersendiri dalam buku baru didalam kalbu. Setiap malam, kutatap layar ponselku,
mengharap pesan balasan darimu. Malam ini gelap semakin pekat, cahaya lampu
pijar semakin meramaikan sudut kota.
Keasyikanmu terlalu membunuh jiwa humorisku, aku tak
menyangka akan se-senang ini. mungkin dipikiranmu, aku terlihat bodoh,
semata-mata aku ingin terus mengabadikan senyum konyol dan tawa bahagiamu itu,
bahkan untuk bertindak dewasa saja aku tak sempat.
Kesenanganku terhadapmu tak berbeda jauh dengan kesenanganku
terhadap kopi, ini adalah obat patah hati terbaik. Ingin sekali aku dan kamu
duduk bersama, menyandingkan dua cangkir kopi dalam satu meja. Mungkin bila
nanti akhirnya bukan aku yang kau pilih, setidaknya kopi kita pernah bersanding
di satu meja berbagi perasaan bertukar pikiran.
Malam ini, setelah bercumbu dengan secangkir kopi Toraja,
aku mulai mulai melukiskan kata-kata, memanggil hadirmu yang pernah
melibatkanku pada sebuah kesedihan yang menimpamu. Kau selalu berhasil
menyalakan bara dalam ingatan yang memuai bersama lahar kecemasan.
Bersamaan dengan ampas kering di dasar cangkir, goresan
tentangmu kembali ku ukir.
Tulisan adalah cara terbaik untuk berperilaku jujur,
setidaknya pada diri sendiri. Sebenarnya, masih banyak yang ingin kutuliskan
semua yang ada dalam pikiran, tapi setelah ku pegang pena, hilang semua akal. Gemetar
tanganku. Setelah aku tahu, teringat bahwa kau sedang memiliki hubungan spesial
dengan lelaki yang juga baru kau kenal. Niatku untuk menulis buyar dengan
hebohnya.
Yang tersisa hanyalah kecemasan yang mengaratkan
kerinduan, membisukan suara hati yang merintih perih, meneriakkan kebohongan, “aku
bisa rela hidup tanpa kehadiranmu.” Semua perasaan terlepas begitu saja.
Ini, peganglah dan bawa pulang suratku ini. bacalah
dengan hati yang suci, disana banyak perasaanku yang ingin berteduh di hatimu,
dari kisah bahagianya aku dulu, sampai berdukanya aku yang sekarang.
Bila kau tertarik ingin membaca, bacalah. Aku takkan
memaksa. Keputusanmu selalu aku terima, lagipula tak ada lagi yang harus
diperjuangkan dari hati yang sudah dimiliki. Maka sebelum tulisan menjadi
tangisan, lebih baik aku hentikan. Semoga setelah ini pelangi akan selalu
menghiasi duka dan menerbitkan asa, karena semesta selalu berpihak pada yang
berhak, termasuk aku dalam hal mencintaimu, dan kamu dalam hal mencintainya.
Aku tak tahu bagaimana cara merayakannya. Selamat
menikmati patah hati, untukku dan hatiku sendiri.
Posting Komentar
Beri komentar pada kolom yang tertera. Dilarang menggunakan kata sapa "Gan" di blog ini. Dariku sang penggila kopi, pecandu puisi.