Di Balik Diammu, Kamu Sayang Aku


Dia adalah orang yang aku kagumi. Dalam seminggu ia menghabiskan waktunya untuk membanting tulang demi mencari nafkah. Setiap hari tanpa absen. Penuh semangat dan tanpa letih, pulang dengan wajah penuh debu dan lesu. Setibanya di rumah tak banyak perbincangan antara kita, karena ia terlebih dahulu tenggelam dalam lelapnya.

Yang kutahu, ada sosok yang tak kalah mulianya dari seorang Ibu. Aku mengenalnya sebagai lelaki yang tak banyak bicara.

Sosok itu bernama ayah.
Ibu sangat mencintainya, melebihi cintanya kepada dunia. Pernah jika aku berbuat salah, ia tatap mataku penuh ketulusan dan sambil tersenyum lalu berkata, “Jangan kau ulangi lagi.” Seketika mataku menahan butiran air dan lari ke kamar, air mata pun jatuh setelahnya.

Pernah aku meminta kepada ayah untuk membelikan sepatu baru, karena sepatuku yang sedang ku pakai sudah tak layak untuk ku pakai lagi. Aku tahu bahwa ayahku tak memiliki uang banyak. Kau tahu? Apa yang ayahku lakukan? Ia menatap mataku sambil berkata, “iya, nanti ayah belikan.” 

Sebuah jawaban tegas yang selalu aku ingat adalah kata “NANTI”. Ia tak pernah menolak permintaanku, ia pasti selalu mengucapkan kalimat itu. Dan aku belajar tentang menghargai perasaan orang saat itu.


Beliau adalah superhero di keluarga dan di kehidupanku. Sekarang sudah waktunya aku tuk belajar kerja, ini adalah pertama kalinya aku mengikuti prakerin. Selama dua bulan.

Ia mempunyai sifat heroik, yang rela mengambil cuti, rela untuk naik kendaraan umum ke tempat kerjanya, demi meminjamkan motor yang sering dipakai setiap hari untuknya bekerja, kepada anaknya yang sedang kesulitan transportasi.

Jujur saya merasa tidak enak pada beliau, sesak di dada, menahan tangis haru betapa mulianya ia.

Ia melakukannya dengan sukarela, demi anaknya yang sedang prakerin. Belajar kerja, belajar merasakan lelahnya mencari uang.


Sekarang saya tahu mengapa beliau selalu bilang, “belajar yang rajin.” Karena di balik kata itu ada banyak rasa letih dan cucuran keringat yang keluar di dahinya. Untuk men-sekolahkan anaknya.

Aku tak pernah tahu perihal apa yang membuatnya begitu kuat dan semangat menghadapi kerasnya kehidupan. Kokoh badanya tak begitu banyak berubah, kulitnya telah mengeriput – sebenarnya. Tapi ia tak pernah lupa akan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga yang misinya mencari nafkah bagi keluarga.

Satu hal yang kutahu sampai saat ini. Dalam diam kamu menyayangi aku dan keluargaku. Tetaplah bersamaku dan aku akan terus belajar mendewasa darimu.

Aku mencintaimu, Ayah.





“Impian yang menjadi nyata itu ada disetiap senyuman dan binar yang kau tinggalkan di bola mata mereka (orang tua). Bukan pada masa depan, yang dirimu sendiripun masih butuh tangan takdir untuk meraihnya”


Lukislah pelangi itu sebelum kanvas usia mereka habis dilukis senja.


Jakarta, 5 Desember 2015


Posting Komentar

Beri komentar pada kolom yang tertera. Dilarang menggunakan kata sapa "Gan" di blog ini. Dariku sang penggila kopi, pecandu puisi.